Monday, November 28, 2016

Si Pitung

Pada jaman penjajahan belanda dahulu, di daerah Jakarta (dahulu Batavia) hiduplah seorang pria gagah yang bernama si Pitung. Dia lahir dari pasangan suami istri yang bernama pak Piun dan bu Pinah. Pekerjaan pak Piun sehari-hari adalah bertani.

Setiap hari si Pitung membantu bapaknya menanam padi, memetik kelapa dan mencari rumput untuk pakan ternaknya. Si Pitung juga tak segan untuk membantu tetangganya yang memerlukan bantuan. Tiap hari si Pitung juga sangat rajin menunaikan sholat dan puasa, bapaknya juga selalu mengajarkan si Pitung untuk bertutur kata yang santun, dan patuh kepada orang tua.

Si Pitung dan keluarganya tinggal di kampung Rawabelong, daerah kebayoran. Daerah itu adalah bagian dari daerah kekuasaan tuan tanah yang bernama babah Liem Tjeng Soen,oleh karena itu semua warga yang tinggal di situ wajib membayar pajak kepada babah Liem. Hasil pajak tanah tersebut nantinya akan disetorkan kepada Belanda.

Dalam memungut pajak, babah Liem dibantu oleh anak buahnya yang berasal dari kalangan pribumi. Anak buah yang diangkat babah Liem adalah kaum pribumi yang pandai bersilat dan memainkan senjata. Tujuannya adalah supaya para penduduk tidak berani melawan dan membantah pada saat dipungut pajak.

Hingga pada suatu hari, saat si Pitung membantu bapaknya mengumpulkan hasil panen dari sawah. Sesampainya di rumah, betapa terkejutnya si Pitung melihat anak buah babah Liem sedang marah-marah kepada bapaknya. Si Pitung lalu menghampiri bapaknya, dan bertanya kepada anak buah babah Liem, “Hey, apa salah bapak saya?” “Tanya saja sama bapakmu ini!!”, jawab anak buah babah Liem.

Anak buah babah Liem lalu pergi dengan membawa semua hasil panen yang telah dikumpulakan si Pitung dan bapaknya. Dengan nada geram, si Pitung berbicara dalam hatinya, “Nantikan pembalasanku!!”

Hingga keesokan harinya saat si Pitung berjalan menyusuri kampung, dia melihat kesewenang-wenangan anak buah babah Liem lagi. Mereka merampas ayam, kambing, kelapa, dan padi dari penduduk, tanpa rasa iba.

Sebagai warga yang merasa bertanggung jawab atas keamanan, maka si Pitung tidak tinggal diam. Si Pitung lalu menghampiri anak buah babah Liem, lalu berteriak “Hentikan pengecut!! Kenapa kalian merampas harta orang lain?!”

Para anak buah babah Liem kemudian menoleh kearah si Pitung. “Siapa kamu ini, berani-beraninya mencegah kami? Kamu tidak tahu siapa kami ini?”,teriak anak buah babah Liem.

“Saya tidak peduli siapa kalian, tapi perbuatan kalian itu sangatlah kejam dan tidak berperi kemanusiaan!”, jawab si Pitung.

Mendengar perkataan si Pitung, pemimpin anak buah babah Liem menjadi geram. Ia lalu menghampiri si Pitung, dan menyerang sekenanya saja. Ia mengira bahwa Pitung akan mudah dirobohkan. Namun, di luar dugaannya, Pitung malah mencekal lengannya dan membantingnya ke tanah hingga pingsan. Anak buah babah Liem yang lain menghentikan kesibukan mereka dan mengepung Pitung. Dengan sigap Pitung menyerang lebih dulu. Ada lima orang yang mengeroyoknya. Satu demi satu ia hajar pelipis atau tulang kering mereka hingga mereka mengaduh kesakitan. Lalu mereka menggotong pimpinan centeng yang masih pingsan dan melarikan diri.

Sebelum pergi, mereka mengancam: “Awas, nanti kami laporkan Demang.”

Beberapa hari setelah peristiwa itu, nama Pitung menjadi pembicaraan di seluruh Kebayoran. Namun, Pitung tak gentar dan tetap bersikap tenang. Ia bahkan tidak menghindar kalau ada orang yang bertanya kepadanya tentang kejadian itu.

Suatu hari, Pak Piun menyuruh si Pitung menjual kambing ke Pasar Tanah Abang. Pak Piun sedang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Si Pitung pun pergi ke tanah abang untuk menjual dua kambingnya itu. Tanpa sepengetahuan si Pitung, ternyata ada satu orang anak buah babah Liem yang membuntutinya sejak berangkat dari rumah tadi. Hingga pada saat si Pitung mandi di sungai dan berwudhu, anak buah babah Liem tadi mencuri uang hasil penjualan kambing dari saku bajunya yang diletakkakn di pinggir sungai.

Sesampainya di rumah, si Pitung sangatlah kaget. Karena uang hasil penjualan kambing tidak ada di sakunya lagi. Dengan geram ia kembali ke Pasar Tanah Abang dan mencari orang yang telah mencuri uangnya. Setelah melakukan penyelidikan, ia menemukan orang itu. Orang itu sedang berkumpul di sebuah kedai kopi.

Si Pitung mendatanginya ...

Monday, November 21, 2016

Legenda Harimau Makan Durian

Desa Kemingking Dalam adalah desa yang berada di wilayah kecamatan Taman Rajo, Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Wilayah kabupaten ini terkenal dengan berbagai macam hasil bumi, salah satunya adalah durian. Di desa Kemingking Dalam, musim durian biasanya tiba satu atau dua tahun sekali dengan hasil yang berlimpah. Durian dari daerah ini terkenal karena bentuknya yang tidak terlalu besar namun memiliki rasa khas yang manis dan legit. Setiap musim panen tiba, masyarakat desa Kemingking Dalam akan berbondong-bondong menunggui durian yang runtuh di kebun mereka masing-masing. Mereka menjaga kebun ini bersama keluarga mereka baik di waktu siang maupun malam. Tetapi, ketika musim panen hampir usai dan buah yang ada di pohon tinggal sedikit, masyarakat desa Kemingking Dalam tidak akan lagi menunggui kebun mereka di malam hari. Karena kebiasaan ini, timbullah sebuah cerita yang menarik di dalamnya.

Pada suatu masa ketika desa Kemingking Dalam masih merupakan desa dengan pemerintahan tersendiri dan raja-rajanya masih berkuasa. Rakyat hidup berdampingan dalam kedamaian dan kesejahteraan berkat pemimpin yang bijaksana. Namun, tiba-tiba segala kemakmuran itu terganggu dengan hadirnya seekor harimau besar dari negeri seberang. Harimau ini buas, bengis, dan lapar. Ia tidak hanya menghabisi ternak warga masyarakat, tetapi lambat laun harimau ini mulai menyerang manusia. Membuat belasan orang meninggal sedangkan puluhan lainnya luka-luka dengan cacat pada tubuhnya.

Melihat hal ini, Raja yang berkuasa di saat itu tidak dapat tinggal diam. Ia kemudian memerintahkan salah seorang prajuritnya yang paling sakti untuk mengatasi krisis yang terjadi di kerajaannya. Prajurit ini dengan patuh pergi mencari harimau untuk mengusir atau membunuhnya. Ketika berhadapan dengan sang harimau prajurit ini langsung menyerang dengan segala daya upaya yang dimilikinya. Namun sang harimau yang sangat besar dan kuat dapat dengan mudah mematahkan pedang dan tombak senjata sang prajurit serta melukai prajurit hingga terluka parah.

Mengetahui kondisinya yang tidak lagi memungkinkannya ...

Monday, November 14, 2016

Naga Sabang dan Dua Raksasa Seulawah

Pada suatu masa saat pulau Andalas masih terpisah menjadi dua pulau yaitu pulau bagian timur dan pulau bagian barat, kedua pulau ini di pisahkan oleh selat barisan yang sangat sempit.Diselat itu tinggal lah seekor naga bernama Sabang.Pada masa itu di kedua belah pulau tersebut berdiri dua buah kerajaan bernama Kerajaan Daru dan Kerajaan Alam. Kerajaan Daru dipimpin oleh Sultan Daru berada di pulau bagian timur dan kerajaan Alam dipimpin oleh Sultan Alam berada dipulau bagian barat. Sultan Alam sangat adil dan bijaksana kepada rakyatnya dan sangat pintar berniaga sehingga kerajaan Alam menjadi kerajaan yang makmur dan maju. Sedangkan Sultan Daru sangat kejamkepada rakyatnya dan suka merompak kapal-kapal saudagar yang melintasi perairannya.

Sudah lama Sultan Daru iri kepada Sultan Alam dan sudah sering pula dia berusaha menyerang kerajaan Alam namun selalu dihalangi oleh Naga Sabang, sehingga keinginannya menguasai kerajaan Alam yang makmur tidak tercapai. Maka pada suatu hari dipanggil lah penasehat kerajaan Daru bernama Tuanku Gurka, “Tuanku Gurka, kita sudah sering menyerang Kerajaan Alam tetapi selalu dihalangi oleh naga Sabang, coba engkau cari tahu siapa orang yang bisa mengalahkan Naga itu”, perintah Sultan Daru. “Yang mulia, Naga Sabang adalah penjaga selat Barisan. Kalau naga itu mati maka kedua pulau ini akan menyatu karena tidak ada makhluk yang mampu merawat penyangga diantara kedua pulau ini selain naga itu”, jelas Tuanku Gurka. “Aku tidak peduli kedua pulau ini menyatu, aku ingin menguasai kerajaan Alam”, jelas Sultan Daru. “Ada dua raksasa bernama Seulawah Agam dan Seulawah Inong, mereka sangat sakti”, kata Tuanku Gurka. “Seulawah Agam memiliki kekuatan yang sangat besar sedangkan Seulawah Inong mempunyai pedang geulantue yang sangat cepat dan sangat tajam”, tambah Tuanku Gurka.

Maka tak lama kemudian datanglah kedua raksasa tersebut menghadap Sultan Daru untuk menyampaikan kesangupan mereka bertarung menghadapi naga Sabang. Tak lama kemudian dikirimlah utusan kepada naga Sabang untuk memberi tahu bahwa kedua raksasa itu akan datang bertarung dengannya. Naga Sabang sedih mendengar berita tersebut dan segera menghadap Sultan Alam, “ Sultan Alam sahabatku, sudah datang orang suruhan Sultan Daru kepada ku membawa pesan bahwa dua raksasa Selawah Agam dan Seulawah Inong akan datang melawanku”, Jelas sang Naga kepada Sultan Alam. “Mereka sangat kuat, aku khawatir akan kalah”, kata sang Naga. “Kalau saja aku terbunuh maka kedua pulau ini akan menyatu, bumi akan berguncangan keras dan air laut akan surut, maka surulah rakyatmu berlari ke gunung yang tinggi, karena sesudah itu akan datang ie beuna, itu adalah gelombang yang sangat besar yang akan menyapu daratan ini”, pesan sang Naga. Sultan Alam menitikkan air mata mendengar pesan dari naga sahabatnya,” Baiklah sahabatku, aku akan sampaikan pesanmu ini kepada rakyatku.

Maka pada waktu yang sudah di tentukan terjadilah pertarungan yang sengit ...

Monday, November 7, 2016

Asal Mula Nama Kota Balikpapan



Menurut cerita rakyat yang diceritakan secara turun temurun di kalangan masyarakat Kalimantan Timur, sejak tahun 1700 an di tanah Pasir sudah ada sistem pemerintahan kerajaan yang sangat teratur. Di bawah pemerintahan kerajaan tersebut, rakyat hidup sejahtera. Kekuasaan raja yang memimpin pada waktu itu sangat luas, membentang hingga ke bagian selatan. Daerah tersebut merupakan sebuah teluk yang kaya akan hasil laut, dan pemandangan disana pun sangat indah. Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sepanjang teluk hidup sebagai nelayan dan petani yang sangat makmur.

Sultan yang memerintah kerajaan pada waktu itu adalah Sultan Aji Muhammad. Sultan mempunyai seorang putri bernama Aji Tatin. Putri tersebut menikah dengan Raja Kutai. Kepada ayahnya, Aji Tatin meminta warisan untuk masa depannya. Sultan Aji Muhammad kemudian memberikan wilayah teluk yang saat itu memang belum memiliki nama.

Pada suatu hari, ketika orang-orang yang bertugas mengumpulkan upeti dari rakyat untuk Aji Tatin sedang naik perahu, datanglah angin topan yang dahsyat. Upeti dari rakyat yang sedang mereka bawa saat itu berupa papan dengan jumlah yang sangat banyak. Karena merasa tidak mampu untuk melawan badai, para pendayung perahu tersebut berusaha merapat ke pantai. Namun, karena gelombang yang sangat besar dan angin topan tersebut, perahu pun terhempas ke sebuah karang. Alat untuk mendayung (tokong/galah) pun patah dan perahu pun karam. Panglima Sendong yang memimpin rombongan tersebut dan semua anak buahnya meninggal.

Jadi, menurut legenda atau cerita rakyat Kalimantan Timur ini, nama Balikpapan diambil dari kejadian saat perahu yang berisi papan terbalik karena diterpa badai. Sedangkan pulau karang yang tertabrak oleh perahu hingga karam kini dinamakan Pulau Tukung.